Rabu, 09 November 2016

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN TAPSIR DAN TAKWIL

MAKALAH
Sejarah Perkembangan Dan Pertumbuhan Ilmu Tafsir, Takwil Dan Macam-Macamnya
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir
Dosen Pengampu: Muh. Badaruddin, MPd.I


                                                
        Disusun oleh : Kelompok 5
Fahry Aryanto                         (1501010173)
Iltiqo’ul Jannati                       (1501010178)
Sohari                                      (1501010298)

                                                            Semester: 3

PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
T.A. 2016/2017



KATA PENGANTAR

Puji Syukur  atas Kehadirat ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berisikan pembahasan tentang Kurikulum
            Penulis menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan masih banyak Kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Atas seluruh bantuan bagi semua pihak yang di berikan kepada penulis semoga mendapatkan balasan dari ALLAH SWT. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca AMIIIIN………….


                                                           

                                                                                    Metro, 21 September 2016
                                                                                               
                                                                                                                                   
                                                                                                Penulis









DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C.     Tujuan Masalah........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Dan Prkembangan Tafsir.................................................... 2
B. Macam-Macam Tafsir................................................................................ 4
C. Sejarah Perumbuhan Takwil...................................................................... 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................... 10
B. Saran.......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 11















BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Secara bahasa, tafsir adalah menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Adapun secara istilah, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri atau ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Seperti disebutkan di atas, bahwa istilah yang hampir mirip dengan tafsir salah satunya adalah ta’wil, yang secara bahasa berarti kembali ke asal.Sedangkan secara istilah, ta’wil menurut Nur Cholis Majid adalah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber Suci sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber Suci itu tadi, tapi pada “makna dalam” (batin, inward meaning).Hal ini sedikit berbeda dengan pengertian ta’wil menurut Manna’ al Qaththan yang mendfinisikan ta’wil sebagai essensi perbuatan yang diperintahkan.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Perkembangan Dan Pertumbuhan Tafsir Dan Takwil?
2.      Bagaimana Pembagian Tafsir?
C.    TUJUAN
1.      Memahami Perkembangan Dan Pertumbuhan Tafsir Dan Takwil
2.      Mengetahui Macam-Macam Tafsir







BAB II
PEMBAHASAN
A.    SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN TAFSIR
1.      Periode Awal Islam
Al-quran diturunkan kepada nabi muhammad saw dalam bahasa arab. Nabi adalah  bangsa arab.,dan orang-orang yang pertama kali diseru masuk islam juga orang arab. Dengan demikian wajarlah kalau itu al-quran menggunakn bahasa arab, bahasa yang difamahi oleh mereka bangsa arab.
Sewaktu nabi masih hidup, para sahabat tidak banyak mengalami kesulitan dalm memahami al-quran. Mereka menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu ayat. Ada ayat-ayat yang diturnkan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajuka oleh nabi.
Manakala ada kesulitan dalam memhami suatu ayat tertentu, sahabat-sahabat itu dapat bertanya lagsung kepada nabi. Dan anbi berkenan memberikan penjelasan seketika itu. Sesudah nabi wafat, maka para sahabat besar sebagai juru tafsir. Kebutuhan terhadap tafsir ini makin mendesak, terutama sesudah agama islam itu telah tersiar paa bangsa-bangsa selain arab.
Selanjutnya kebutuhan terhadap tafsir al-quran itu makin bertambah, sehingga lahirlah kitab-kitab tafsir al-quran yang ditulis oleh para ulama.ada yang menafsirkan secara lengkap, ada juga yang menafsirkan dari segi surat tertentu saja.dengan ir dapat di mengerti isi petunjuk al-quan yang diturunkan  sebagai petunjukumat manusia sepanjang jaman.orang tampa memahami isi al-quran lewat tafsir ini,tentuya orang tidak apat mengambil faedah  sebagai pedoman hidup.
Nabi saw dalam menafsirkan al-quran, kadang-kadang dengan perbutan, kadang-kadang dengan perkataan, dan kadang-kadang dengan perbuatan dan perkataan. Seperti bagimana cara mengerjakan shalat.
Diantara khulafa arrrasyiddin yang paling meonjol dalam bidang tafsir adalah ali boin abi thalib.dan diantara kesespuluh sahabat yang palaing menonjol adalah ibnu abbas.
Selain dari sahabat-sahabat tersebut masih ada beberapa orang shabat yang juga tergolong sebagi ahli tafsir seperti abu hurairoh, annas bin malik, abdullh bin umar, jabir bin abdullah, siti aisyah dan amr bin ash.

2.      Periode Tabi’in
Adapun sumber tafsir pada masa tabi’in ialah tafsir-tafsir nabi sawyang diriwayatkan oleh para sahabat, tafsir-tafsir para sahabat, ijtihad dan riwayat-riwayat yang mereka dengar dari ahlul kitab yang lebih dikenal dengan sebuta israiliyyat dan nashariyyat.
Mengenai tafsir dengan ijtihad, sebagian tabi’in menerimanya dan sebagian lain menolak nya. Diantara yang menolaknya ialah sa’id bin musayyab, ibnu sirrin, hisyam bin urwah bin zubeir. Disamping yang tafsir al-qur’an dengan ijtihad, ada golongan yang memperbolehkannya seperti ibnu abbas, ibnu mas’ud,mujahid, ikrimah dan lainnya. Dengan ketentuan melarang orang yang tudak sepurpura alat-alat tafsir nya untuk menafsirkan al-qur’an. Masalah israiliyaat dan nasraliyyat itu diambil oleh orang-orang ahli koitab yang telah memeluk agama islam seperti abdullah bin salam, la’ab bin akhbar, wahab bin munabbih,dan abdul malik bin abdil aziz binjuraij.
Para tabiin mengambil cerita-cerita israiliyaat dan nasraniyat, karaena ceritya-cerita itu tidak berhubungan dengan huku syara’.ibnu jabir dalam ayat-ayat tafsir yang berhubungan dengan bani israel, beliau mengambil erita dari wahab bin munabbih, seorang yahudi dari negri yaman yang telah masuk idslam
Ahli tafsir pada m,asa tabi’in yang terkenal dimekah ialahmujahid, atho’ bin rabah, ikhrimah, sa’id,. Said bin jubeir, thowur dan sebagainya. Murid-murid ibnu abbas. Dikuffah ahli tafsir yang terkenal adalah murid-murid ibnu mas’ud dan dimadinah ahli datfir yang terkenal adalah zaid bin salam guru dari anaknya abdurrahman bin zaid dan guru dari amlik bin annas. Disamping itu ada pula yang lain seoerrti hasan al-basri, masruq bin al-ajda’, qatadah bin di’aman as-sadusy dan abdul alliyah.
3.      Periode tabiit tabi’in (abad II H-permulaan abad IV H)
Sumber tafris pada masa tabiit tabi’in ini ialah tafsir ayat dengan ayat, tafsoir dengan hadits, ijtihad atsar para sahabat, ijtihat dan atsar para tabiin, ijtihat tabiit tabi’in da cerita israiliyat dan nasraniyat.
Ahli-ahli tafsir dimasa tabiit tabi’in antara lain: al-waqidi, ishaq bin ruwaih, ibnu juraij, muqati dan ibnu jariat thobary. Ahli-aahli tafsir dikemudian hari banyak menyandarkan kepada ibnu jarir at thobary.
4.      Periode mutaakkhirin( permulaan abad IV H)
Sesudah  ibnu jarir at thobary, lahir lah ulama-ulama’ tafsir yang bersungguh-sngguh menafsirkan al-qur’an, membersihkan cerita-cerita israiliyyat dan nasraniyyatdengan mempergunakan kejernihan akal pikiran.
Ahli-ahli tafsur pada masa ini anatara lain abu musli muhammmad bin bahr al-ashfahany, az zamakhsyary, abu  hasan ali bin ahmad al wahidy, al qurthuby, imam ar-razi.
5.      Periode baru (abad ke XII sampai sekarang)
Ahli tafsir al-qur’an pada masa baru ini merupakan himounan dan ikhtisar dari tafsir-tafsir pada masa-masa sebelumnya dan hasil ijtihad ulama-ulama tafsir periode ini.
Diantara ulama periode ini antrara lain al-alusy, asy-saukany, syekh nawawi al bantani al jawi,syekh thohir al jazairy, jamalud al-qasimmi, sayid ridha, syekah tantowi jauhari, sekh mustafa al-maraghi dan sayid kutub.[1]
B.     Macam-Macam Tafsir
1.      Tafsir bi al-matsur
Al-matsur berati sesuatu yang diriwayatkan. Secara istilah tafsir al-matsur adalah penafsiran al-qur’an dengan al-qur’an, penafsiran al-qur’an dengan hadits nabi, penafsiran al-qur’an dengan perktaan sahabat, penafsiran al-qur’an dengan tabi’in.[2]
Tafsir thabrani misalnya, sekalipun didalamnya dia berijtihad dengan menggunakan bahasa syair arab, qira’at, ilmu nahwu, fikih, namun dia selalu memihak pada pendapat ulama’ salaf dan kembali pada nash al-qur’an. Maka tafsirnya masih dikategorikan sebagai tafsir bi al-matsur.
2.      Tafsir bi ar-ra’yi
Secara bahasa ar-ra’yu berarti keyakinan, akal, dan perenungan. Ahli fikih sering berijtihad, bisa disebut sebagai ashab ar-ra’yi. Karena ituntafsir bi ar-ra’yi bisa disebut dengan tafsir bi al-aqli, tafsir bi al-ijtihady, tafsir dengan atas dasar nalar dan ijtihad.[3]
Menurut istiah, tafsir bi ar-ra,yi adalah upaya untuk memahami nash al-qur’an atas dasar ijtihad seorangnahlintafsir yang memahami betul bahasa arab dari segala sisinya.[4]
Yang dimaksud berijtihad dalam menafsirkan al-qur’an , tidaklah sama dengan pengertian berijtihad dalam disiplin ushul fiqh.dalam konteks tafsir, khususnya tafsir bi ar-ra’yi ijtoihad yang dimaksud adalah kesungguhan seorang mufaasir untuk memahami makna nash al-qur,an, mengungkapkan maksud kata-katanya dan makna yang terkandung didalamnya. Ini adalah ijtihad yang dimaksud lebih mendalam untuk menjelaskan kandungan nash al-qur’an, baik berupa hukum-hukum syariat, hikmah-hikmah, nasihat-nasihat, dan lain sebagainya.[5]
3.      Tafsir bi al-isyarah
Tafsir bi al-isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat al-qur’an dengan isyarat-isyarat batin yang terpancar dari para sufi, pengikut tarekat atau orang yang bersih hatinya.[6]
Para ulam’ ber beda pendapat mengenai bpleh tidaknya menggunakn tafsir ini, sebaian membolehkan sebagian mengaram kan.
Kelompok yang membolehkan memberika syarat:
a.       Makna batinnya tidak bertentangan dengan makna dzahir denagn al-qur’an.
b.      Penafsirannya tidak mengklaim bahwa hanya penafsiran batinnya yang paling benar, seraya mengabaikan makna dhahirnya.
c.       Penafsirannnya tidak jauh melenceng dari makna dasar nya.
d.      Hasil penafsirannyatidak bertentangn dengan hukum syar’i maupun akal.
e.       Hasil penafsiranya didukung dengan dalil-dalil syar’i lainnya.[7]
Sementara kelompok yang mengharamkan tafsir ini menganggap bahwa tafsir ini hanya berisi asumsi-asumsi ya ng sangat subjekrif sehinnga hasil penafsirannya jauh dari kebenaran dan pada titik tertentu berakibat pada subjektivitas atau bahkan relativitas makna al-qur’an.
Karena itu, az-zarkasy misalnya mengatakan bahwa pendapat para sufi terkait dengan ayat-ayat al-qur,an bukan lah tafsir atsanya, tapi ia adalah makna, rasa dan kesan yang mereka peroleh ketika membaca dan berinteraksi dengan al-qur’an.[8]
C.    SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ILMU TAKWIL
Al Qur’an, datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Al Quran mengajak mereka berfikir tentang kekuasaan Allah. Dan dengan berbagai argumentasi, Kitab Suci ini juga mengajak mereka untuk membuktikan keharusan adanya Hari Kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan mereka pada hari itu akan ditentukan oleh persesuaian sikap hidup mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Singkatnya, al Qur’an, yang diyakini sebagai firman-firman Allah, merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendaki-Nya. Jadi, manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendaki Allah harus dapat memahami maksud-maksud Allah yang tertuang dalam Kitab Suci al Qur’an. Upaya-upaya memahami maksud firman-firman Allah inilah yang kemudian disebut dengan tafsir.[9]
Upaya untuk menafsirkan al Qur’an guna mencapai dan menemukan makna-makna yang terkandung didalamnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW, dimana Beliau sendiri adalah Penafsir al Qur’an yang paling utama. Contoh yang cukup kongrit adalah ketika Rasulullah mengutus Muadz ibn Jabal ke Yaman, dimana bila dia, Muadz ibn Jabal, menghadapi persoalan akan mencari jawabannya dengan terlebih dahulu mencari dalam al Qur’an. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa upaya penafsiran terhadap al Quran, apapun sistematika dan metodenya, telah dimulai sejak masa Rasulullah masih hidup.Tafsir sebagai upaya sistematis dan bermetode untuk menguak, menjelaskan dan mengaktualisasikan kandungan ayat-ayat al Qur’an telah mengalami perkembangan yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan semenjak Rasulullah masih hidup sampai sekarang kaum Muslim tidak pernah berhenti mengkaji Kitab Suci ini, meskipun kajian tersebut tentunya mengalami fluktuasi. Pernah suatu ketika pengkajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga menghasilkan karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif. Dan pada saat yang lain, pernah pula mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga kajian-kajian yang ada hanya berkisar pada upaya pemberian syarah dan atau tambahan ulasan terhadap kajian sebelumnya.Pada era Rasulullah SAW, belum dikenal adanya metode tafsir,[10] karena tafsir sendiri –sebagaimana yang dipahami sekarang- belum ditemukan waktu itu. Hal demikian dikarenakan ayat-ayat dalam al Qur’an, yang diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam situasi serta kondisi sosio-kultural Arab, pada umumnya tidak selalu membutuhkan penjelasan rinci dan detail untuk dapat dipahami dan ditangkap makna-maknanya oleh para sahabat. Meski begitu, Rasul sendiri memberikan penjelasan-penjelasan terhadap ayat-ayat tertentu yang memang sulit untuk “dicerna” dan diamalkan tanpa dijelaskan Beliau. Penjelasan atau penafsiran Rasul terhadap ayat-ayat al Qur’an terkadang dalam bentuk wahyu “tersurat” dari Tuhan, wahyu “tersirat” dalam keterangan Beliau, ataupun ijtihad sendiri.[11]
Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan, ia berkata: ketika turun Q.S. al An’am: 82 yang Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman……(Q.S. al An’am:82)
Ayat di atas sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya ?’ Beliau menjawab : ‘Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh (Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar (Luqman : 13). Jadi, sesungguhnya kezaliman di sini maksudnya adalah syirik.’
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang ia kehendaki ketika diperlukan. Dari Uqbah Ibn ‘Amir, ia berkata: ‘Saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat, Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al Anfal:60) Ketahuilah, “kekuatan” di sini adalah memanah.
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kandungan al Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasanRasulullah. Misalnya, rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang di-fardlu-kannya. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah: “Ketahuilah, sungguh telah diturunkan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya......”.
Dengan demikian, kendatipun Rasulullah tidak mengintrodusir suatu metode yang baku, namun secara langsung Beliau sendiri telah mempraktekkan dua cara pendekatan (two approaches) dalam kajian al Qur’an. Yang pertama adalah pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu).
Pada era shahabat, kedua cara pendekatan tersebut tetap dipakai, meskipun kecenderungan pada pendekatan naqliy (nash al Qur’an dan al Sunnah) terasa lebih dominan. Jelasnya, para sahabat dalam menerangkan berpegang pada:
1.      al Qur’anu al Karim, sebab apa yang dikemukakan secar global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan denga “tafsir Qur’an dengan Qur’an”,
2.      Penjelasan Rasulullah, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, dan
3.      Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar.
Di sini perlu dijelaskan bahwasanya ijtihad mereka pada umumnya berpijak pada:
a.       Penguasaan bahasa Arab yang luas dan alami,
b.      Pengenalan adat istiadat bangsa Arab.
c.       Pengenalan latar belakang sosio-kultural ketika al Qur’an diturunkan, termasuk keadaan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan,
d.      Kemampuan intelektual masing-masing.
Diantara sahabat yang terkenal banyak menafsirkan la Qur’an adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubai Ibn Ka’b, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al Asy’ari, Abdullah Ibn Zubair, Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Umar, Jabir Ibn Abdullah, Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat.
Tidak jauh beda dengan masa sahabat adalah pada masa tabi’in, dimana metode pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan al Qur’an tidak jauh berbeda dengan apa yang dipakai shahabat. Mereka bersandar kepada para pendahulunya disamping juga melakukan ijtihad dan pandangan tersendiri. Jelasnya, menurut Muhammad Husein al Dzahaby, sebagaimana disitir oleh Said Agil, para penafsir dari kalangan tabi’in dalam pemahamannya bersandar kepada Allah itu sendiri. Juga dari sesuatu yang diriwayatkan dari shahabat yang merupakan penafsiran mereka sendiri. Mereka juga mengambilnya dari ahli kitab sesuatu yang terdapat dalam kitab mereka.
Begitu pun di era sesudah tabi’in, baik periode mutaqaddimun maupun muta’akhirun, pendekatan yang digunakan dalam upaya penafsiran al Qur’an sudah dibakukan dalam bentuk tafsir ma’tsur (riwayat) dan tafsir ra’yu (akal).
Namun di zaman modern, penafsir sedikit mengalami perubahan, dimana para mufassir menempuh pola dan langkah baru dengan memperhatikan keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir yang bercorak “sastera sosial”. Di antara mufasir kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Ridho, Muhammad Musthafa al Maraghi, Sayid Qutub, dan Muhammad ‘Izzah Darwazah.
Namun demikian, pembagian jenis tafsir secara dikotomis ma’tsur-ra’yu akhir-akhir ini sudah mulai ditinggalkan. Demikian pula pembagian secara trikotomis dengan memasukkan jenis tafsir isyariy sebagai unsur ketiga, juga tidak lagi populer. Disamping karena menimbulkan kerancuan, juga karena sulitnya menemukan kitab-kitab tafsir yang benar-benar murni ma’tsur atau hanya berdasar ra’yu, ataupun semata-mata isyariy. Kitab-kitab tafsir yang ada, khusunya yang ditulis oleh para penafsir modern lebih banyak merupakan perpaduan sintesa dari ma’tsur atau riwayah dan ra’yu atau dirayah sehingga ada yang menamakannya sebagai metode izdiwaj (campuran). Namun, istilah yang terakhir ini pun tidak luput dari kerancuan karena bisa menimbulkan konotasi yang bermacam-macam.
Disebabkan adanya kesulitan seperti ini, timbul upaya baru untuk membuat pengelompokan lain dari metode tafsir. Abd al Hayy al Farmawiy, misalnya, membuat 4 (empat) kelompok besar jenis tafsir berdasarkan metode yang digunakan, yaitu: metode tahliliy, metode ijmaliy, metode muqarin, dan metode mawdluiy.
Apapun metode yang digunakan oleh penafsir, menurut Said Agil Husein al Munawwar, bahwa para penafsir diharapkan mampu menjelaskan makna lafadz dan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di-istinbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (munasabah). Dan untuk keperluan ini, demikian Said Agil menambahkan, perlu merujuk kepada sebab-sebab turun ayat (asbab al nuzul), hadits-hadits Rasulullah SAW. dan riwayat dari para shahabat dan tabi’in. Meskipun demikian, ra’yu juga diberikan peranan yang cukup signifikan. Hanya saja, menurut Subhi Shalih, tidak boleh bertentang dengan sesuatu yang sudah pasti berdasarkan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Hal ini disebabkan karena ra’yu adalah ijtihad, dan ijtihad tidak dapat disejajarkan dengan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits shahih.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Meskipun upaya untuk memahami kehendak Tuhan melalui firman-firman-Nya yang termaktub dalam al Qur’an sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup, ternyata term tafsir hanya disebut satu kali saja dalam al Qur’an, lainnya adalah istilah-istilah yang hampir mirip dengan term tafsir antara lain ta’wil, tadabbur, bayan, tabyin dan tafşĭl.
Kaitannya dengan pemahaman antara tafsir dan ta’wil, para ulama’ berbeda pendapat, apakah term tafsir dan ta’wil itu identik ataukah berbeda sama sekali. Perbedaan akan tampak jelas ketika ta’wil dimaknai sebagai essensi yang dimaksud dari suatu perkataan, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan. Namun ketika ta’wil diartikan sebagai upaya menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka istilah tafsir dan ta’wil adalah dua istilah yang saling berekatan atau sama maknanya.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa upaya untuk menafsiri al Qur’an telah di mulai sejak masa Rasulullah masih hidup, namun dari masa ke masa kajian tafsir ini mengalami pasang surut. Suatu ketika kajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga menghasilkan karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif.
B.     Saran
Dari uraian materi diatas yang kami buat, penulis menyadari bahwa didalamnya terdapat banyak kesalahan ataupun kekeliruan didalam kami menyusunnya, untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi untuk kebaikan kita bersama.








DAFTAR PUSTAKA

Dra.Hj. Akla, 2010. Tafsir, Stain Jurai Siwo Metro.
Husein Adz-Dzahabi. 2008. tafrir wa al-muffasirun, Al-Qahirah.
Khalid Abdurrahman. 1996. Ushul al-tafsir wa qawa’idu, Bairut:Dar al-Nafa’is.
M. Quraish Shihab. 1999. Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan
Manna’ Khalil al Qaththan. 1998. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Jakarta: Pustaka            Litera Antar Nusa
Manna Al-Qatthan. 1986. Mabahits Fi Ulum, riyadh.
M. Ali Al-Shabuni. 1970.  Al-Tibyan, Bairut.
.



[1] Dra.Hj. Akla, Tafsir,(Stain Jurai Siwo Metro,2010) Hal.19-23
[2] Ibid., hlm. 347                                                                                                      
[3] Khalid Abdurrahman, Ushul al-tafsir wa qawa’idu, (Bairut:Dar al-Nafa’is,1996), hlm. 167
[4] Husein Adz-Dzahabi, tafrir wa al-muffasirun, (Al-Qahirah,2008), hlm 183
[5]Khalid Abdurrahman, Ushul al-tafsir wa qawa’idu, (Bairut:Dar al-Nafa’is,1996), hlm 176
[6] Manna Al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum(riyadh,1986) hlm. 205
[7] Khalid Abdurrahman, Ushul al-tafsir wa qawa’idu, (Bairut:Dar al-Nafa’is,1996), hlm. 208
[8] M. Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan,(Bairut 1970)Hlm. 192
[9]M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999), hlm. 15
[10]Manna’ Khalil al Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir,( Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. VI, 200)1, hlm. 454
[11]Ibid., hlm. 457