MAKALAH
Sejarah Perkembangan Dan Pertumbuhan
Ilmu Tafsir, Takwil Dan Macam-Macamnya
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir
Dosen Pengampu: Muh. Badaruddin,
MPd.I

Disusun oleh : Kelompok 5
Fahry Aryanto (1501010173)
Iltiqo’ul Jannati (1501010178)
Sohari (1501010298)
Semester:
3
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
T.A. 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas Kehadirat ALLAH SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berisikan pembahasan tentang Kurikulum
Penulis
menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan masih banyak Kesalahan dan kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Atas seluruh bantuan bagi semua pihak yang
di berikan kepada penulis semoga mendapatkan balasan dari ALLAH SWT. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca AMIIIIN………….
Metro,
21 September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................... i
KATA
PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR
ISI............................................................................................................ iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah.............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C.
Tujuan Masalah........................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pertumbuhan Dan Prkembangan Tafsir.................................................... 2
B.
Macam-Macam Tafsir................................................................................ 4
C.
Sejarah Perumbuhan Takwil...................................................................... 5
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................... 10
B.
Saran.......................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Secara
bahasa, tafsir adalah
menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.
Adapun secara istilah, tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri atau ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal lain
yang melengkapinya.
Seperti
disebutkan di atas, bahwa istilah yang hampir mirip dengan tafsir salah satunya adalah ta’wil, yang secara bahasa berarti
kembali ke asal.Sedangkan secara istilah, ta’wil menurut Nur Cholis Majid adalah pemahaman atau pemberian
pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber Suci sedemikian rupa, sehingga
yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber Suci itu
tadi, tapi pada “makna dalam” (batin,
inward meaning).Hal ini sedikit berbeda dengan pengertian ta’wil menurut Manna’ al Qaththan
yang mendfinisikan ta’wil
sebagai essensi perbuatan yang diperintahkan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana Perkembangan Dan
Pertumbuhan Tafsir Dan Takwil?
2.
Bagaimana Pembagian Tafsir?
C.
TUJUAN
1.
Memahami Perkembangan Dan
Pertumbuhan Tafsir Dan Takwil
2.
Mengetahui Macam-Macam Tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN TAFSIR
1.
Periode
Awal Islam
Al-quran diturunkan kepada nabi muhammad saw dalam
bahasa arab. Nabi adalah bangsa
arab.,dan orang-orang yang pertama kali diseru masuk islam juga orang arab.
Dengan demikian wajarlah kalau itu al-quran menggunakn bahasa arab, bahasa yang
difamahi oleh mereka bangsa arab.
Sewaktu
nabi masih hidup, para sahabat tidak banyak mengalami kesulitan dalm memahami
al-quran. Mereka menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu ayat. Ada ayat-ayat
yang diturnkan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajuka oleh
nabi.
Manakala ada kesulitan dalam memhami suatu ayat
tertentu, sahabat-sahabat itu dapat bertanya lagsung kepada nabi. Dan anbi
berkenan memberikan penjelasan seketika itu. Sesudah nabi wafat, maka para
sahabat besar sebagai juru tafsir. Kebutuhan terhadap tafsir ini makin
mendesak, terutama sesudah agama islam itu telah tersiar paa bangsa-bangsa
selain arab.
Selanjutnya kebutuhan terhadap tafsir al-quran itu
makin bertambah, sehingga lahirlah kitab-kitab tafsir al-quran yang ditulis
oleh para ulama.ada yang menafsirkan secara lengkap, ada juga yang menafsirkan
dari segi surat tertentu saja.dengan ir dapat di mengerti isi petunjuk al-quan
yang diturunkan sebagai petunjukumat
manusia sepanjang jaman.orang tampa memahami isi al-quran lewat tafsir
ini,tentuya orang tidak apat mengambil faedah
sebagai pedoman hidup.
Nabi saw dalam menafsirkan al-quran, kadang-kadang
dengan perbutan, kadang-kadang dengan perkataan, dan kadang-kadang dengan
perbuatan dan perkataan. Seperti bagimana cara mengerjakan shalat.
Diantara khulafa arrrasyiddin yang paling meonjol
dalam bidang tafsir adalah ali boin abi thalib.dan diantara kesespuluh sahabat
yang palaing menonjol adalah ibnu abbas.
Selain dari sahabat-sahabat tersebut masih ada
beberapa orang shabat yang juga tergolong sebagi ahli tafsir seperti abu
hurairoh, annas bin malik, abdullh bin umar, jabir bin abdullah, siti aisyah
dan amr bin ash.
2.
Periode
Tabi’in
Adapun sumber tafsir pada masa tabi’in ialah
tafsir-tafsir nabi sawyang diriwayatkan oleh para sahabat, tafsir-tafsir para
sahabat, ijtihad dan riwayat-riwayat yang mereka dengar dari ahlul kitab yang
lebih dikenal dengan sebuta israiliyyat dan nashariyyat.
Mengenai tafsir dengan ijtihad, sebagian tabi’in
menerimanya dan sebagian lain menolak nya. Diantara yang menolaknya ialah sa’id
bin musayyab, ibnu sirrin, hisyam bin urwah bin zubeir. Disamping yang tafsir
al-qur’an dengan ijtihad, ada golongan yang memperbolehkannya seperti ibnu
abbas, ibnu mas’ud,mujahid, ikrimah dan lainnya. Dengan ketentuan melarang
orang yang tudak sepurpura alat-alat tafsir nya untuk menafsirkan al-qur’an.
Masalah israiliyaat dan nasraliyyat itu diambil oleh orang-orang ahli koitab
yang telah memeluk agama islam seperti abdullah bin salam, la’ab bin akhbar,
wahab bin munabbih,dan abdul malik bin abdil aziz binjuraij.
Para tabiin mengambil cerita-cerita israiliyaat dan
nasraniyat, karaena ceritya-cerita itu tidak berhubungan dengan huku
syara’.ibnu jabir dalam ayat-ayat tafsir yang berhubungan dengan bani israel,
beliau mengambil erita dari wahab bin munabbih, seorang yahudi dari negri yaman
yang telah masuk idslam
Ahli tafsir pada m,asa tabi’in yang terkenal dimekah
ialahmujahid, atho’ bin rabah, ikhrimah, sa’id,. Said bin jubeir, thowur dan
sebagainya. Murid-murid ibnu abbas. Dikuffah ahli tafsir yang terkenal adalah murid-murid
ibnu mas’ud dan dimadinah ahli datfir yang terkenal adalah zaid bin salam guru
dari anaknya abdurrahman bin zaid dan guru dari amlik bin annas. Disamping itu
ada pula yang lain seoerrti hasan al-basri, masruq bin al-ajda’, qatadah bin
di’aman as-sadusy dan abdul alliyah.
3.
Periode
tabiit tabi’in (abad II H-permulaan abad IV H)
Sumber tafris pada masa tabiit tabi’in ini ialah
tafsir ayat dengan ayat, tafsoir dengan hadits, ijtihad atsar para sahabat,
ijtihat dan atsar para tabiin, ijtihat tabiit tabi’in da cerita israiliyat dan
nasraniyat.
Ahli-ahli tafsir dimasa tabiit tabi’in antara lain:
al-waqidi, ishaq bin ruwaih, ibnu juraij, muqati dan ibnu jariat thobary.
Ahli-aahli tafsir dikemudian hari banyak menyandarkan kepada ibnu jarir at
thobary.
4.
Periode
mutaakkhirin( permulaan abad IV H)
Sesudah ibnu
jarir at thobary, lahir lah ulama-ulama’ tafsir yang bersungguh-sngguh
menafsirkan al-qur’an, membersihkan cerita-cerita israiliyyat dan
nasraniyyatdengan mempergunakan kejernihan akal pikiran.
Ahli-ahli tafsur pada masa ini anatara lain abu
musli muhammmad bin bahr al-ashfahany, az zamakhsyary, abu hasan ali bin ahmad al wahidy, al qurthuby,
imam ar-razi.
5.
Periode
baru (abad ke XII sampai sekarang)
Ahli tafsir al-qur’an pada masa baru ini merupakan
himounan dan ikhtisar dari tafsir-tafsir pada masa-masa sebelumnya dan hasil
ijtihad ulama-ulama tafsir periode ini.
Diantara ulama periode ini antrara lain al-alusy,
asy-saukany, syekh nawawi al bantani al jawi,syekh thohir al jazairy, jamalud
al-qasimmi, sayid ridha, syekah tantowi jauhari, sekh mustafa al-maraghi dan
sayid kutub.[1]
B.
Macam-Macam
Tafsir
1.
Tafsir
bi al-matsur
Al-matsur berati sesuatu yang diriwayatkan. Secara
istilah tafsir al-matsur adalah penafsiran al-qur’an dengan al-qur’an,
penafsiran al-qur’an dengan hadits nabi, penafsiran al-qur’an dengan perktaan
sahabat, penafsiran al-qur’an dengan tabi’in.[2]
Tafsir thabrani misalnya, sekalipun didalamnya dia
berijtihad dengan menggunakan bahasa syair arab, qira’at, ilmu nahwu, fikih,
namun dia selalu memihak pada pendapat ulama’ salaf dan kembali pada nash
al-qur’an. Maka tafsirnya masih dikategorikan sebagai tafsir bi al-matsur.
2.
Tafsir
bi ar-ra’yi
Secara bahasa ar-ra’yu berarti keyakinan, akal, dan
perenungan. Ahli fikih sering berijtihad, bisa disebut sebagai ashab ar-ra’yi.
Karena ituntafsir bi ar-ra’yi bisa disebut dengan tafsir bi al-aqli, tafsir bi
al-ijtihady, tafsir dengan atas dasar nalar dan ijtihad.[3]
Menurut istiah, tafsir bi ar-ra,yi adalah upaya
untuk memahami nash al-qur’an atas dasar ijtihad seorangnahlintafsir yang
memahami betul bahasa arab dari segala sisinya.[4]
Yang dimaksud berijtihad dalam menafsirkan al-qur’an
, tidaklah sama dengan pengertian berijtihad dalam disiplin ushul fiqh.dalam
konteks tafsir, khususnya tafsir bi ar-ra’yi ijtoihad yang dimaksud adalah
kesungguhan seorang mufaasir untuk memahami makna nash al-qur,an, mengungkapkan
maksud kata-katanya dan makna yang terkandung didalamnya. Ini adalah ijtihad
yang dimaksud lebih mendalam untuk menjelaskan kandungan nash al-qur’an, baik
berupa hukum-hukum syariat, hikmah-hikmah, nasihat-nasihat, dan lain
sebagainya.[5]
3.
Tafsir
bi al-isyarah
Tafsir bi al-isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat
al-qur’an dengan isyarat-isyarat batin yang terpancar dari para sufi, pengikut
tarekat atau orang yang bersih hatinya.[6]
Para ulam’ ber beda pendapat mengenai bpleh tidaknya
menggunakn tafsir ini, sebaian membolehkan sebagian mengaram kan.
Kelompok yang membolehkan memberika syarat:
a.
Makna batinnya
tidak bertentangan dengan makna dzahir denagn al-qur’an.
b.
Penafsirannya
tidak mengklaim bahwa hanya penafsiran batinnya yang paling benar, seraya
mengabaikan makna dhahirnya.
c.
Penafsirannnya
tidak jauh melenceng dari makna dasar nya.
d.
Hasil
penafsirannyatidak bertentangn dengan hukum syar’i maupun akal.
e.
Hasil
penafsiranya didukung dengan dalil-dalil syar’i lainnya.[7]
Sementara kelompok yang mengharamkan
tafsir ini menganggap bahwa tafsir ini hanya berisi asumsi-asumsi ya ng sangat
subjekrif sehinnga hasil penafsirannya jauh dari kebenaran dan pada titik tertentu
berakibat pada subjektivitas atau bahkan relativitas makna al-qur’an.
Karena itu, az-zarkasy misalnya
mengatakan bahwa pendapat para sufi terkait dengan ayat-ayat al-qur,an bukan
lah tafsir atsanya, tapi ia adalah makna, rasa dan kesan yang mereka peroleh
ketika membaca dan berinteraksi dengan al-qur’an.[8]
C.
SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ILMU TAKWIL
Al Qur’an, datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka
menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Al Quran mengajak
mereka berfikir tentang kekuasaan Allah. Dan dengan berbagai argumentasi, Kitab
Suci ini juga mengajak mereka untuk membuktikan keharusan adanya Hari
Kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan mereka pada hari itu akan ditentukan oleh
persesuaian sikap hidup mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Singkatnya, al Qur’an, yang diyakini sebagai firman-firman Allah, merupakan
petunjuk mengenai apa yang dikehendaki-Nya. Jadi, manusia yang ingin
menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendaki Allah harus
dapat memahami maksud-maksud Allah yang tertuang dalam Kitab Suci al Qur’an.
Upaya-upaya memahami maksud firman-firman Allah inilah yang kemudian disebut
dengan tafsir.[9]
Upaya untuk menafsirkan al Qur’an guna mencapai dan menemukan makna-makna
yang terkandung didalamnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW, dimana
Beliau sendiri adalah Penafsir al
Qur’an yang paling utama. Contoh yang cukup kongrit adalah ketika Rasulullah
mengutus Muadz ibn Jabal ke Yaman, dimana bila dia, Muadz ibn Jabal, menghadapi
persoalan akan mencari jawabannya dengan terlebih dahulu mencari dalam al
Qur’an. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa upaya penafsiran terhadap al Quran,
apapun sistematika dan metodenya, telah dimulai sejak masa Rasulullah masih
hidup.Tafsir sebagai upaya sistematis dan bermetode untuk menguak, menjelaskan
dan mengaktualisasikan kandungan ayat-ayat al Qur’an telah mengalami
perkembangan yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan semenjak Rasulullah
masih hidup sampai sekarang kaum Muslim tidak pernah berhenti mengkaji Kitab
Suci ini, meskipun kajian tersebut tentunya mengalami fluktuasi. Pernah suatu
ketika pengkajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga menghasilkan
karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif. Dan pada saat yang
lain, pernah pula mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga kajian-kajian
yang ada hanya berkisar pada upaya pemberian syarah dan atau tambahan ulasan terhadap kajian sebelumnya.Pada
era Rasulullah SAW, belum dikenal adanya metode tafsir,[10]
karena tafsir sendiri
–sebagaimana yang dipahami sekarang- belum ditemukan waktu itu. Hal demikian
dikarenakan ayat-ayat dalam al Qur’an, yang diturunkan dalam bahasa Arab dan
dalam situasi serta kondisi sosio-kultural Arab, pada umumnya tidak selalu
membutuhkan penjelasan rinci dan detail untuk dapat dipahami dan ditangkap
makna-maknanya oleh para sahabat. Meski begitu, Rasul sendiri memberikan
penjelasan-penjelasan terhadap ayat-ayat tertentu yang memang sulit untuk
“dicerna” dan diamalkan tanpa dijelaskan Beliau. Penjelasan atau penafsiran
Rasul terhadap ayat-ayat al Qur’an terkadang dalam bentuk wahyu “tersurat” dari
Tuhan, wahyu “tersirat” dalam keterangan Beliau, ataupun ijtihad sendiri.[11]
Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan, ia berkata: ketika turun Q.S. al An’am: 82
yang Artinya: “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman……(Q.S. al
An’am:82)
Ayat di atas sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya kepada
Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim
terhadap dirinya ?’ Beliau menjawab : ‘Kezaliman disini bukanlah
seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang
saleh (Luqman), Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar (Luqman : 13).
Jadi, sesungguhnya kezaliman di sini maksudnya adalah syirik.’
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang ia kehendaki
ketika diperlukan. Dari Uqbah Ibn ‘Amir, ia berkata: ‘Saya pernah mendengar
Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat, Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al
Anfal:60) Ketahuilah, “kekuatan” di sini adalah memanah.
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kandungan al Qur’an terdapat ayat-ayat
yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasanRasulullah.
Misalnya, rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai
hukum-hukum yang di-fardlu-kannya.
Inilah yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah: “Ketahuilah, sungguh telah
diturunkan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa
dengannya......”.
Dengan demikian, kendatipun Rasulullah tidak mengintrodusir suatu metode
yang baku, namun secara langsung Beliau sendiri telah mempraktekkan dua cara
pendekatan (two approaches)
dalam kajian al Qur’an. Yang pertama adalah pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu).
Pada era shahabat, kedua
cara pendekatan tersebut tetap dipakai, meskipun kecenderungan pada pendekatan naqliy (nash al Qur’an dan al Sunnah) terasa lebih dominan. Jelasnya,
para sahabat dalam menerangkan berpegang pada:
1. al Qur’anu
al Karim, sebab apa yang dikemukakan secar global di satu tempat dijelaskan
secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam
bentuk mutlaq atau umum namun
kemudian disusul ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang
dinamakan denga “tafsir Qur’an dengan Qur’an”,
2. Penjelasan
Rasulullah, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al Qur’an.
Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan
kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, dan
3. Pemahaman
dan ijtihad. Apabila para
sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al Qur’an dan tidak pula mendapatkan
sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan
nalar.
Di sini perlu dijelaskan bahwasanya ijtihad mereka pada umumnya berpijak
pada:
a. Penguasaan
bahasa Arab yang luas dan alami,
b. Pengenalan
adat istiadat bangsa Arab.
c. Pengenalan
latar belakang sosio-kultural ketika al Qur’an diturunkan, termasuk keadaan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan,
d. Kemampuan
intelektual masing-masing.
Diantara sahabat yang terkenal banyak menafsirkan la Qur’an adalah empat
khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubai Ibn Ka’b, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al
Asy’ari, Abdullah Ibn Zubair, Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Umar, Jabir Ibn
Abdullah, Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan
sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang
dinisbatkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat.
Tidak jauh beda dengan masa sahabat adalah pada masa tabi’in, dimana metode pendekatan
yang digunakan dalam menafsirkan al Qur’an tidak jauh berbeda dengan apa yang
dipakai shahabat. Mereka
bersandar kepada para pendahulunya disamping juga melakukan ijtihad dan pandangan tersendiri.
Jelasnya, menurut Muhammad Husein al Dzahaby, sebagaimana disitir oleh Said
Agil, para penafsir dari kalangan tabi’in
dalam pemahamannya bersandar kepada Allah itu sendiri. Juga dari sesuatu yang
diriwayatkan dari shahabat yang
merupakan penafsiran mereka sendiri. Mereka juga mengambilnya dari ahli kitab
sesuatu yang terdapat dalam kitab mereka.
Begitu pun di era sesudah tabi’in,
baik periode mutaqaddimun maupun
muta’akhirun, pendekatan yang
digunakan dalam upaya penafsiran al Qur’an sudah dibakukan dalam bentuk tafsir ma’tsur (riwayat) dan tafsir ra’yu (akal).
Namun di zaman modern, penafsir sedikit mengalami perubahan, dimana para mufassir menempuh pola dan langkah
baru dengan memperhatikan keindahan uslub
dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan pada aspek-aspek sosial,
pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir yang
bercorak “sastera sosial”. Di antara mufasir
kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Ridho,
Muhammad Musthafa al Maraghi, Sayid Qutub, dan Muhammad ‘Izzah Darwazah.
Namun demikian, pembagian jenis tafsir secara dikotomis ma’tsur-ra’yu akhir-akhir ini sudah
mulai ditinggalkan. Demikian pula pembagian secara trikotomis dengan memasukkan
jenis tafsir isyariy sebagai
unsur ketiga, juga tidak lagi populer. Disamping karena menimbulkan kerancuan,
juga karena sulitnya menemukan kitab-kitab tafsir yang benar-benar murni ma’tsur atau hanya berdasar ra’yu, ataupun semata-mata isyariy. Kitab-kitab tafsir yang ada,
khusunya yang ditulis oleh para penafsir modern lebih banyak merupakan
perpaduan sintesa dari ma’tsur atau
riwayah dan ra’yu atau dirayah sehingga ada yang menamakannya sebagai metode izdiwaj (campuran). Namun, istilah
yang terakhir ini pun tidak luput dari kerancuan karena bisa menimbulkan
konotasi yang bermacam-macam.
Disebabkan adanya kesulitan seperti ini, timbul upaya baru untuk membuat
pengelompokan lain dari metode tafsir. Abd al Hayy al Farmawiy, misalnya,
membuat 4 (empat) kelompok besar jenis tafsir berdasarkan metode yang
digunakan, yaitu: metode tahliliy,
metode ijmaliy, metode muqarin, dan metode mawdluiy.
Apapun metode yang digunakan oleh penafsir, menurut Said Agil Husein al Munawwar,
bahwa para penafsir diharapkan mampu menjelaskan makna lafadz dan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat
di-istinbath-kan dari ayat
serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat
sebelum dan sesudahnya (munasabah).
Dan untuk keperluan ini, demikian Said Agil menambahkan, perlu merujuk kepada
sebab-sebab turun ayat (asbab al
nuzul), hadits-hadits Rasulullah SAW. dan riwayat dari para shahabat dan tabi’in. Meskipun demikian, ra’yu juga diberikan peranan yang cukup signifikan. Hanya saja,
menurut Subhi Shalih, tidak boleh bertentang dengan sesuatu yang sudah pasti
berdasarkan nash-nash al Qur’an
dan hadits-hadits yang shahih.
Hal ini disebabkan karena ra’yu
adalah ijtihad, dan ijtihad tidak dapat disejajarkan
dengan nash-nash al Qur’an dan
hadits-hadits shahih.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Meskipun
upaya untuk memahami kehendak Tuhan melalui firman-firman-Nya yang termaktub
dalam al Qur’an sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup, ternyata
term tafsir hanya disebut satu
kali saja dalam al Qur’an, lainnya adalah istilah-istilah yang hampir mirip
dengan term tafsir antara lain ta’wil, tadabbur, bayan, tabyin dan tafşĭl.
Kaitannya
dengan pemahaman antara tafsir
dan ta’wil, para ulama’ berbeda
pendapat, apakah term tafsir
dan ta’wil itu identik ataukah
berbeda sama sekali. Perbedaan akan tampak jelas ketika ta’wil dimaknai sebagai essensi yang dimaksud dari suatu
perkataan, sebab tafsir
merupakan syarah dan penjelasan
bagi suatu perkataan. Namun ketika ta’wil
diartikan sebagai upaya menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka istilah
tafsir dan ta’wil adalah dua istilah yang saling
berekatan atau sama maknanya.
Seperti
dikemukakan di atas, bahwa upaya untuk menafsiri al Qur’an telah di mulai sejak
masa Rasulullah masih hidup, namun dari masa ke masa kajian tafsir ini mengalami pasang surut.
Suatu ketika kajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga menghasilkan
karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif.
B. Saran
Dari uraian materi diatas yang kami
buat, penulis menyadari bahwa didalamnya terdapat banyak kesalahan ataupun
kekeliruan didalam kami menyusunnya, untuk itu kritik dan saran sangat kami
harapkan demi untuk kebaikan kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Dra.Hj. Akla, 2010. Tafsir, Stain Jurai
Siwo Metro.
Husein
Adz-Dzahabi. 2008. tafrir wa al-muffasirun,
Al-Qahirah.
Khalid Abdurrahman. 1996. Ushul al-tafsir wa qawa’idu, Bairut:Dar
al-Nafa’is.
M. Quraish Shihab. 1999. Membumikan al Qur’an, Bandung:
Mizan
Manna’ Khalil al Qaththan. 1998. Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, terj. Mudzakir, Jakarta: Pustaka Litera
Antar Nusa
Manna Al-Qatthan. 1986. Mabahits Fi Ulum, riyadh.
M. Ali Al-Shabuni. 1970. Al-Tibyan,
Bairut.
.
[1] Dra.Hj. Akla, Tafsir,(Stain Jurai Siwo Metro,2010) Hal.19-23
[2] Ibid., hlm. 347
[3] Khalid Abdurrahman, Ushul al-tafsir wa qawa’idu, (Bairut:Dar
al-Nafa’is,1996), hlm. 167
[4] Husein Adz-Dzahabi, tafrir wa al-muffasirun,
(Al-Qahirah,2008), hlm 183
[5]Khalid Abdurrahman, Ushul al-tafsir wa qawa’idu, (Bairut:Dar
al-Nafa’is,1996), hlm 176
[6] Manna Al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum(riyadh,1986) hlm. 205
[7] Khalid Abdurrahman, Ushul al-tafsir wa qawa’idu, (Bairut:Dar
al-Nafa’is,1996), hlm. 208
[8] M. Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan,(Bairut 1970)Hlm. 192
[9]M. Quraish Shihab, Membumikan al
Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung: Mizan,
Cet. XIX, 1999), hlm. 15
[10]Manna’ Khalil al Qaththan, Studi
Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir,( Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet.
VI, 200)1, hlm. 454